Tidak Sesederhana kata Impor

Rabu, 29 Januari 2014



Baca berita diatas, bikin heran. Kran impor seakan dibuka seluas-luasnya, seakan komoditi tersebut tidak bisa diproduksi di negeri sendiri. Bahkan dalam artikel tersebut komoditi yang di impor adalah beras. Beras yang disebut-sebut makanan pokok orang “Indonesia”, tetapi “Indonesia” sendiri tidak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Mengherankan memang, ketika negeri ini dijuluki negara agraris, tetapi justru berbagai macam kebutuhan pokok mulai dari beras, sayur mayur, bahkan garampun kita harus mengimpor untuk mencukupi permintaan dari masyarakat.

Sebenarnya siapa yang salah jika seperti ini. Merasa miris memang, ketika nasib para petani kemudian terabaikan di negerinya sendiri. Ketika apa yang mereka hasilkan terpinggirkan, tergantikan oleh produk-roduk impor yang menguasai pasar. Padahal secara kualitas produk kita tidak jauh, bahkan lebih baik dari produk impor tersebut.


Bukannya membandingkan era kepemimpinan setiap presiden yang pernah memimpin. Tapi lihat sisi positifnya dari setiap rezim yang pernah memimpin. Dari artikel diatas, dikatakan bahwa pada era Presiden Soeharto kita dapat melaksanakan swasembada beras bahkan 5 komoditi lainnya. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah kenapa sekarang tidak bisa? Bahkan menurut pemerintah jika tidak impor kita tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Apa bedanya Indonesia dulu dengan sekarang? Mungkinkah sumberdaya kita telah berubah? Padahal tanah yang dipijak masih sama.
Alangkah memprihatinkan nasib petani kita. Sudah terpinggirkan bahkan terabaikan. Bagaimana tidak, ketika harga pupuk melambung apa yang dapat mereka perbuat, tetap membeli kan? Karena itu memang kebutuhannya. Tapi timbal balik yang mereka terima tidak seimbang dengan apa yang mereka terima. Produk yang mereka hasilkan seolah kalah bersaing merebut hati para konsumen, harga untuk produk yang mereka hasilkan juga tidak sebanding dengan cucuran keringat serta usaha-usaha lainnya seperti usaha mereka untuk mendapatkan pupuk.

 Apakah kita tetap menutup mta dengan semua ini? Mereka mampu kok, asalkan diberi ruang. Apa bedanya dulu dan sekarang? Ini hanya pendapat saya, pemerintah bukannya memberikan ruang untuk petani tapi malah membuka kran impor seluas-luasnya bahkan untuk komoditi tertentu yang bahkanIndonesia bisa menghasilkan sendiri. Lihatlah sekarang, semuanya tergantung impor. Masih ingat kelangkaan tempe dan tahu beberapa waktu lalu? Jika ditelisik lebih jauh, itu tidak akan terjadi jika produksi kedelai dalam negeri yang menopang industry tahu dan tempe di Indonesia. Sehingga ketika kedelai yng akan diimpor mengalami gagal panen atau mengalami permasalahan apapun itu, kita tidak perlu kebingungan memenuhi kebutuhan kita. Bukankah kebanyakan impor itu juga boros? Bayarnya kan tidak mmungkin pakai Rupiah. Neraca perdagangan juga tidak akan seimbang sehingga akan mengalami deficit. Jika seperti ini, banyak sisi negative impor dari pada positifnya, mengapa seakan-akan pemerintah masih membiarkan hal ini tetap terjadi?

Indonesia bisa. Kekayaan alam yang melimpah ruah ini, jika dimanfaatkan dengan baik pasti akan menghilangkan kebiasaan impor itu bahkan kita bisa saja mengekspor. Cobalah untuk perbaikan infrastruktur dan suprastrukturnya, keluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada petani negeri sendiri, dan cobalah mengedukasi para petani dengan teknologi tepat guna sehingga dapat memperoleh hasil maksimal nantinya. Sehingga slogan untuk “ bela dan beli Indonesia” bukan hanya sekadar ungkapan belaka, tapi suatu realisasi nyata sebagai bentuk kemakmuran Indonesia.

0 komentar: