Baca berita diatas, bikin heran. Kran impor
seakan dibuka seluas-luasnya, seakan komoditi tersebut tidak bisa diproduksi di
negeri sendiri. Bahkan dalam artikel tersebut komoditi yang di impor adalah
beras. Beras yang disebut-sebut makanan pokok orang “Indonesia”, tetapi “Indonesia”
sendiri tidak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Mengherankan memang, ketika
negeri ini dijuluki negara agraris, tetapi justru berbagai macam kebutuhan
pokok mulai dari beras, sayur mayur, bahkan garampun kita harus mengimpor untuk
mencukupi permintaan dari masyarakat.
Sebenarnya siapa yang salah jika seperti
ini. Merasa miris memang, ketika nasib para petani kemudian terabaikan di
negerinya sendiri. Ketika apa yang mereka hasilkan terpinggirkan, tergantikan
oleh produk-roduk impor yang menguasai pasar. Padahal secara kualitas produk
kita tidak jauh, bahkan lebih baik dari produk impor tersebut.
Bukannya membandingkan era kepemimpinan
setiap presiden yang pernah memimpin. Tapi lihat sisi positifnya dari setiap
rezim yang pernah memimpin. Dari artikel diatas, dikatakan bahwa pada era
Presiden Soeharto kita dapat melaksanakan swasembada beras bahkan 5 komoditi
lainnya. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah kenapa sekarang tidak bisa? Bahkan
menurut pemerintah jika tidak impor kita tidak bisa memenuhi kebutuhan
masyarakat. Apa bedanya Indonesia dulu dengan sekarang? Mungkinkah sumberdaya
kita telah berubah? Padahal tanah yang dipijak masih sama.
Alangkah memprihatinkan nasib petani
kita. Sudah terpinggirkan bahkan terabaikan. Bagaimana tidak, ketika harga
pupuk melambung apa yang dapat mereka perbuat, tetap membeli kan? Karena itu
memang kebutuhannya. Tapi timbal balik yang mereka terima tidak seimbang dengan
apa yang mereka terima. Produk yang mereka hasilkan seolah kalah bersaing
merebut hati para konsumen, harga untuk produk yang mereka hasilkan juga tidak
sebanding dengan cucuran keringat serta usaha-usaha lainnya seperti usaha
mereka untuk mendapatkan pupuk.
Apakah
kita tetap menutup mta dengan semua ini? Mereka mampu kok, asalkan diberi
ruang. Apa bedanya dulu dan sekarang? Ini hanya pendapat saya, pemerintah
bukannya memberikan ruang untuk petani tapi malah membuka kran impor
seluas-luasnya bahkan untuk komoditi tertentu yang bahkanIndonesia bisa
menghasilkan sendiri. Lihatlah sekarang, semuanya tergantung impor. Masih ingat
kelangkaan tempe dan tahu beberapa waktu lalu? Jika ditelisik lebih jauh, itu
tidak akan terjadi jika produksi kedelai dalam negeri yang menopang industry tahu
dan tempe di Indonesia. Sehingga ketika kedelai yng akan diimpor mengalami
gagal panen atau mengalami permasalahan apapun itu, kita tidak perlu
kebingungan memenuhi kebutuhan kita. Bukankah kebanyakan impor itu juga boros? Bayarnya
kan tidak mmungkin pakai Rupiah. Neraca perdagangan juga tidak akan seimbang
sehingga akan mengalami deficit. Jika seperti ini, banyak sisi negative impor
dari pada positifnya, mengapa seakan-akan pemerintah masih membiarkan hal ini
tetap terjadi?
Indonesia
bisa. Kekayaan alam yang
melimpah ruah ini, jika dimanfaatkan dengan baik pasti akan menghilangkan
kebiasaan impor itu bahkan kita bisa saja mengekspor. Cobalah untuk perbaikan
infrastruktur dan suprastrukturnya, keluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak
pada petani negeri sendiri, dan cobalah mengedukasi para petani dengan teknologi
tepat guna sehingga dapat memperoleh hasil maksimal nantinya. Sehingga slogan
untuk “ bela dan beli Indonesia” bukan hanya sekadar ungkapan belaka, tapi
suatu realisasi nyata sebagai bentuk kemakmuran Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar