Ibuku

Sabtu, 31 Januari 2015



Dia malaikatku
Penjaga ku tiap waktu
Dan dia yang kupanggil IBUK

Bahagia sekali memiliki Ibuk. Meskipun mempunyai 5 anak yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda, isi kepala yang berbeda, dan ego yang berbeda. Beliau mampu memahami dan selalu (mencoba) memahami. Bukan perkara mudah untuk bisa bersikap adil terhadap 5 anak yang pasti ingin selalu didahulukan. Tapi beliau tetap bisa.

Sebagai bungsu yang lahir saat usia Ibuk menginjak 38 tahun, mungkin membuat aku amat sangat manja kepadanya. Dengan semua limpahan kasih sayang tak pernah putus dari beliau. Yang selalu siap dengan semua permintaanku, sampai sampai di usia ku yang menginjak kepala dua ini beliau masih mau menyuapiku saat aku tak ingin makan. Bahkan aku masih harus tidur bersama beliau. Menjadi anak perempuan bungsu itu membahagiakan. Segala perhatian Ibuk tercurah semua kepadaku.

Jika aku ingat Ibuk, satu hal yang paling pasti aku amat sangat sayang beliau. Disaat yang lain merasa biasa saat jauh, aku menangis. Aku terlalu terbiasa dengan kehadiran beliau.  Aku ingat, ketika aku baru mengikuti pengukuhan TONTI di SMK. Acara itu wajib untuk aku ikuti, dan aku harus menginap semalam disekolah. Itu adalah pertama kalinya aku pergi dan menginap tanpa Ibuk ku selain acara kemah. Sepulang dari acara tersebut, Ibuk ku bercerita bahwa beliau tidak bisa tidur semalaman saat aku mengikuti acara tersebut. Beliau terus memikirkan, apakah aku baik-baik saja, apakah aku makan teratur, apakah aku bisa tidur jika aku menginap diruang kelas. Padahal aku hanya pergi semalaman. “ Ibuk khawatir Nak, memikirkanmu terus hingga tak bisa tidur hingga Ibuk sakit seperti ini”. Dan ketika itu aku hanya menjawab dengan polosnya,” Ibuk jangan kaya gittu donk, mulai sekarang kan aku mulai banyak kegiatan. Nanti kalau Ibuk kayak gini terus aku gak bakal maju-maju. Masa’ Ibuk mau sakit terus?”. Mulai saat itu Ibuku mencoba untuk mengikhlaskan aku, melepaskan anak perempuan bungsu kesayangannya.

Tapi keadaan terbalik sekarang, saat aku harus kost untuk kuliah di Jogja. Hari pertama aku tinggal dikost, aku terus memikirkan Ibuk. Membayangkan saat berada dirumah, makan tinggal makan karena Ibuk selalu menyiapkan makanan kesukaanku dan selalu tidur dipelukan beliau. aku hanya bertahan semalam dikost saat itu, esok harinya aku pulang. Mencari Ibuk dan menangis sejadi-jadinya dipangkuan Ibuk. Ibuk membelai rambutku sambil berkata,” lhoh kenapa nangis? Ibuk gakpapa kalo kamu harus tinggal dikost. Katanya Ibuk harus ngelepasin kamu, kalau kamu gak bisa terus-terusan jadi anak kecil yang tidur bareng Ibuk. Kan kamu ngekost juga buat kuliah.” Aku terdiam. Ibuku masih ingat kata-kataku dulu. Saat aku masih ingin bebas, bersenang-senang dengan duniaku yang baru. Meremehkan bahwa aku bisa hidup jauh dari Ibuk.

Ibuk memang mulai melepaskanku, tapi tidak sepenuhnya. Seminggu sekali aku harus pulang untuk bertemu beliau. Beliau selalu menyambutku saat aku pulang. Biasanya sebelum aku pulang beliau pasti tanya,”mau dimasakin apa besok?”. Dan benar, beliau selalu menyiapkan masakan apa yang aku inginkan. Setiap aku pulang pasti menemaniku saat makan dan menceritakan apapun yang terjadi dirumah selama aku berada dikost. Semuanya hingga kami lupa waktu. Tapi satu yang selalu Ibuk bicarakan,” Ibuk gak pernah lupa buat doain kamu, supaya cepet lulus, cepet dapet kerja, cepet mapan. Ibuk kuliahin kamu biar kamu egak susah kaya Ibuk. Yang Ibuk bisa kasih ke kamu bukan harta karena Ibuk gak punya apa-apa, tapi dengan kuliahin kamu Ibuk harap kamu bisa dapet ilmu. Cuma itu yang bisa Ibuk kasih. Ilmu itu nanti yang akan bikin kamu seneng.” Aku menahan air mata, sebesar itukah kasih Ibuk.
 
Aku hanya bisa jawab,” siap Buk, nanti kalau aku udah kerja Ibuk mau tak beliin apa?”

“Ibuk Cuma minta kamu gak lupa sama Ibuk, besok gantian ngerawat Ibuk kalo Ibuk udah tua udah gak bisa apa-apa. Ibuk pengen sehat terus nduk, biar besok gak ngerepotin kamu kalo Ibuk sakit, kan kasian kamu. Ibuk juga gak mau kalau nanti Ibuk meninggal gara-gara sakit, itu pasti bakalan ngerepotin anak-anak Ibuk.”

Astaghfirullah haladzim. Setulus itu kah kasih Ibuk dengan anak-anaknya. Aku sampai tak habis fikir, kenapa Ibuku seegois itu terhadap dirinya sendiri. Membuat aku mengerti “kasih Ibu itu sepanjang masa”.
Beliau juga sering berkata, “ aku wes seneng nek weruh anak-anakku wes do sukses” ( aku sudah senang jika melihat anak-anakku sudah sukses)
Sesederhana itu kebahagiaan Ibuku. Bahkan ketika kesuksesan itu membuat anak-anaknya lupa pada beliau. Beliau tetap merasa bahagia. Baginya usahanya selama ini tidak sia-sia. Aku hanya bisa menahan air mataku. Setulus itukah kasih Ibuk?

Aku menyayanginya lebih dari apapun. Karena memang aku harus menyayanginya lebih dari apapun.
” Kamu besok jangan kerja jauh-jauh. Kalau kerja jauh-jauh yang ngurusin Ibuk sama Bapak siapa? Mas sama Mbakmu kan udah pada punya keluarga.”
Permintaan Ibuk yang sangat sederhana. Doakan aku Buk, untuk selalu berada disamping Ibuk, jagain Ibuk.

“Mom, you are my everything.”


Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com